Oke...Mulai saat ini, aku telah membebaskan perasaanku. Mungkin ini lah jawaban dari do'a-do'aku. Dia mengarahkan kita kesini. Kamu tiba-tiba menghubungi aku dan memberikan sebuah titik yang jelas tentang hal yang samar bagiku sepuluh bulan terakhir. Oke....Sekarang, hari ini, malam ini aku tahu bahwa selama ini aku terlalu jauh berpikir. Terlalu dalam berharap. Ya, Alhamdulillah...aku senang mengetahui ini hari ini. Tuhaan.....terimakasih. Mungkin ini lah jalan yang engkau pilihkan bagiku agar aku terbebas dari kegundahanku. Menyadarkan aku bahwa aku telah salah berharap terlalu dalam. Aku akan ikhlas melepasmu. Membebaskanmu sebebas-bebasnya. Tidak akan ada lagi harapan akan janji-janji yang dulu pernah terucap akan menjadi nyata. Ya meskipun aku tidak pernah tahu rencana Tuhan sesudah ini. Namun, ini lah hatiku sekarang. Aku sudah melepasmu Mas, seperti katamu. Aku akan move on dengan tenang. Toh bukankah kamu juga merekomendasikan aku untuk itu. Aku bisa menangkap maksud dari kata-kata itu. "Kamu sudah jauh melangkah dari waktu dulu". Oke, cukup jelas dan harus aku terima. Sedikit merasa malu, namun aku bersyukur, lega rasanya. Terlebih aku, aku bisa fokus pada diriku sekarang. Benar-benar pure melihat diri sendiri, terus berkaca dan memperbaiki diri. Janji-janji itu, semuanya, aku akan melupakannya Mas. Cukup menjadi sebuah kenangan yang indah bagiku. Senang mengenalmu.... Hanya itu. Sedikit sakit rasanya, disaat orang yang aku harapkan malah meminta aku melupakannya. Kurang jelas apa semuanya. Terlalu compleks untuk ku jelaskan. Gimana perasaan ku sekarang? Aku bingung aku merasa tersakiti atau aku cukup tersadarkan. Aku hanya terpana. Menatap dan menerima kenyataan ini. Yang aku tau, hari ini, esok dan seterusnya, hari ku akan berubah dari hari-hari sebelumnya. Aku percaya itu. Bukankah kita sudah sama-sama lepas. Ya, aku lepas darimu seutuhnya sekarang.
The Colour Of My Days
Selasa, 24 Desember 2013
Jumat, 06 Desember 2013
LOVE>> Sang Waktu
Waktu....
Detik...menit....jam....hari.....
Minggu.....bulan.... Tahun....
Waktu....
Titik itu semakin jauh tertinggal...
Samar....semakin samar
Bagaimana dengan sepasang gumpalan daging itu
Apakah merah meronanya masih sama?
Bagaimana dengan sebuah impian itu?
Masihkah hanya ada satu alur?
Bagaimana dengan seikat janji itu?
Apakah ikatannya masih sekuat waktu itu...
Waktu, satu titik dimasa itu
Bagaimana dengan selembar gambar itu?
Masihkah rupanya persis sama, disatu titik dimasa itu,,
Nyanyian itu,,
Masihkah satu alunan dan seirama??
Waktu....
Waktu itu,,,
Satu titik dimasa itu...
Masihkah ada hasrat untuk pulang??
Kembali pada satu titik dimasa itu?
Memutar kembali detik, menit, dan jam
Persis sama saat satu titik dimasa itu?
Tak berhenti aku bertanya tentang waktu,,
Waktu, satu titik dimasa itu
Hingga titik itu kembali terang dan jelas
Atau bahkan menghilang,
Lenyap, tak berbekas
Mengikuti tiupan masa,
Berpadu dengan titik waktu yang lain,,
Pasrah dengan kuasa Maha Waktu...
Hingga aku hanya menatap putih...
Mengisyaratkan perdamaian pada Maha Waktu
Menerima ajakan untuk berlari
Mengikuti titik-titik waktu yang lain...
Detik...menit....jam....hari.....
Minggu.....bulan.... Tahun....
Waktu....
Titik itu semakin jauh tertinggal...
Samar....semakin samar
Bagaimana dengan sepasang gumpalan daging itu
Apakah merah meronanya masih sama?
Bagaimana dengan sebuah impian itu?
Masihkah hanya ada satu alur?
Bagaimana dengan seikat janji itu?
Apakah ikatannya masih sekuat waktu itu...
Waktu, satu titik dimasa itu
Bagaimana dengan selembar gambar itu?
Masihkah rupanya persis sama, disatu titik dimasa itu,,
Nyanyian itu,,
Masihkah satu alunan dan seirama??
Waktu....
Waktu itu,,,
Satu titik dimasa itu...
Masihkah ada hasrat untuk pulang??
Kembali pada satu titik dimasa itu?
Memutar kembali detik, menit, dan jam
Persis sama saat satu titik dimasa itu?
Tak berhenti aku bertanya tentang waktu,,
Waktu, satu titik dimasa itu
Hingga titik itu kembali terang dan jelas
Atau bahkan menghilang,
Lenyap, tak berbekas
Mengikuti tiupan masa,
Berpadu dengan titik waktu yang lain,,
Pasrah dengan kuasa Maha Waktu...
Hingga aku hanya menatap putih...
Mengisyaratkan perdamaian pada Maha Waktu
Menerima ajakan untuk berlari
Mengikuti titik-titik waktu yang lain...
LOVE>> Tanda Tanya??
Aku mulai bertanya. Berputar. Membolak-balik. Menghubungkan alasan yang mungkin bisa aku pahami. Bedialog dengan diriku sendiri. Sebenarnya aku sedang merasakan apa? Memang tidak berefek terlalu significant. Mungkin aku terkesan kurang kerjaan mencari-cari jawaban tentang ini, bukankah membiarkan ini mengalir sesuai alurnya kemudian menunggu dan menyaksikan akan seperti apa akhirnya bukan suatu hal yang salah?? Namun bukan itu. Aku butuh tau apa yang aku rasakan??
Ya, kenapa dengan aku? Perasaan seperti apa? Sudah sampai pada tahap yang seperti apakah perasaan ini. Aku, ya aku merindukannya. Tidak berubah dari waktu-waktu sebelumnya. Setiap hari aku selalu kepikiran tentang dia, ya aku rindu dia. Namun hanya itu. Aku tidak berniat dan tidak mau lagi melakukan apa-apa. Hanya yang aku tau bahwa perasaan itu, rindu itu masih sama. Namun, ada yang memblok aku untuk menghubunginya, bahkan untuk sekedar melontarkan sapaan sederhana. Larangan yang entah berasal dari mana itu sangat kuat. Aku malu jika aku harus terus-terusan menghubungi dia. Bukankah memnag tidak ada hal yang penting dan cukup crusial untuk aku bahas dengannya? Apa saling sapa itu salah? Tidak. Tentu tidak. Namun, tidak dengan dia yang seperti itu. Cukup aku merasa salah dan bodoh dengan apa yang aku lakukan padanya. Aku hanya boleh menghubungi dia jika memang perlu, bukankah begitu??
Lantas perasaan seperti apa ini? Kenapa gengsi itu terasa membesar dan mengeras? Masihkah cinta itu ada? Atau memang cinta itu mulai terbenam oleh besarnya rasa takut, malu dan gengsi?? Entahlah, aku tidak benar-benar tau alur perasaan ini.
Kamis, 19 September 2013
ME>> Dua Minggu, Sanggup?
Ehm....Ada ada apa dengan dua minggu? Ada doong...
Mau tau? mau tau? Mau doooong yaa? :D
Oke...
Jadi gini, ehm bakalan sedikit curhat nih. Seperti yang sudah-sudah. Gue sering banget ngerasa di olok-olok perasaan gue sama si "you know who". Sakiiit. Maluuuu. Perasaan gue menjadi berlebihan kalau mendapatkan perlakuan yang itu ke itu lagi. Salahnya gue selalu terjebak, ga bisa sedikit menyembunyikan kegirangan gue kalau mendapati dia menghubungi gue. Apapun yang terjadi, untuk dua minggu kedepan, gue ga boleh luluh. Lupakan soal dia. It is better for me...
Kalau berhasil, bakal ada "hadiah" buat keberhasilan gue. Itu apa? Liat nanti ...:)
Mau tau? mau tau? Mau doooong yaa? :D
Oke...
Jadi gini, ehm bakalan sedikit curhat nih. Seperti yang sudah-sudah. Gue sering banget ngerasa di olok-olok perasaan gue sama si "you know who". Sakiiit. Maluuuu. Perasaan gue menjadi berlebihan kalau mendapatkan perlakuan yang itu ke itu lagi. Salahnya gue selalu terjebak, ga bisa sedikit menyembunyikan kegirangan gue kalau mendapati dia menghubungi gue. Apapun yang terjadi, untuk dua minggu kedepan, gue ga boleh luluh. Lupakan soal dia. It is better for me...
Kalau berhasil, bakal ada "hadiah" buat keberhasilan gue. Itu apa? Liat nanti ...:)
Selasa, 17 September 2013
CERPEN>> Dua Kata Untukmu : Aku Merindukanmu
Ini
adalah kali kesekiannya rasa rindu menggerogotiku. Rindu. Satu kata yang
berulang-ulang muncul dibenakku. Namun apa daya? Apa yang bisa aku lakukan?
Apakah aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku rindu? Ah...jangan bercanda. Stok gengsiku sudah cukup
terbatas untuk kulepaskan begitu saja. Aku tidak akan mungkin menghubungi dia,
kemudian mengatakan bahwa aku sedang merindukannya. Selain merasa berdosa,
pasti rasa malu yang cukup dahsyat akan menyerangku. Lupakan saja soal mengatakan
kepadanya bahwa aku kangen.
Ingin rasanya mencurahkan luapan
rasaku ini kedalam sebuah tulisan sebagaimana mana biasa hal yang aku lakukan
jika aku merasakan sesuatu yang membuat
perasaanku sedikit tidak normal. Kunyalakan laptop hitam kesayanganku dan
segera membuka Microsoft Word. Jemariku mulai bergerak lincah menyusun kata
demi kata hingga tanpa sadar aku sudah menyusun satu paragraf pendek. Tampaknya
rindu kali ini tidak cukup mengantarkan aku menjadi pujangga semalam. Tulisanku
terhenti. Aku tidak mampu merangkai kata untuk mengungkapkan perasaan campur
aduk yang aku rasakan pada episode rinduku malam ini.
Tiba-tiba teringat bahwa dua tahun
yang lalu aku masih rajin menulis, menyampaikan keluh kesahku dalam sebuah blog
pribadi yang memang sengaja tidakku-publish.
Alangkah menariknya jika aku kembali membuka tulisan-tulisan lama yang pernah
aku buat, aku bisa kembali merasakan emosiku waktu itu. Perlahan aku masukkan
alamat blogku di mesin pencari. Sebuah tampilan biru dengan kombinasi bunga
berwarna putih perlahan muncul. Ada ratusan tulisan disana. Itu berarti bahwa
telah ratusan kali kuungkapkan gejolak dan dinamika rasaku di blog ini.
Kamu
datang bagaikan hujan
Membahasahi
aku tanpa aku sempat menolak
Kau buat
aku terbiasa dengan rintik-rintikmu
Kemudian
kamu reda
Awalnya
aku berpikir bahwa kamu bukan apa-apa
Hanya
sekedar anak alam
Hingga aku
tersadar bahwa aku kuyup dan kamu berlalu
Yaa.....basah
kuyup ini adalah jejakmu
Dan
membekas
Hingga aku
tersadar bahwa kamu adalah sesuatu
Ya, kamu
hujan...
Kamu
datang dan pergi begitu saja...
Dan kamu
sempat memberi tanda padaku
Ya, aku
basah karena hujan
Kuyup ini
mengingatkanku padamu
Kamu tak
sekedar datang dan pergi seperti yang aku tau
Kamu masuk
dalam ingatanku
Aku tak punya
harapan apapun
Jika
memang kamu harus berlalu...
Semoga kuyup ini segera kering...
Siang itu, aku mendatangi sebuah
gedung yang tidak jauh dari kampusku hanya untuk menemani seorang teman yang
akan menjalani sesi wawancara sebuah UKM, sekedar menemani. Setelah beberapa menit menunggu,
ada derap langkah di tangga menuju lantai dua, tempat aku dan beberapa calon
anggota yang akan di wawancara menunggu. Pemilik langkah itu ternyata si
pewawancara, laki-laki berkemeja dan celana bahan nuansa coklat. Emm....ada
suatu yang lain saat aku melihatnya. Entahlah.....aku tidak bisa menjelaskan
apa itu, yang aku tahu hanya ada yang berbeda. Bukti dari perbedaan itu, aku
bisa mengingat awal aku melihat dan bertemu dengannya, semoga ini cukup
menjelaskan kesan pertamaku bertemu dengannya.
Tidak lebih tiga bulan dari pertama
kali aku menginjakkan kaki di gedung itu, akhirnya setelah beberapa
pertimbangan ditambah lagi dengan informasi dan pejelasan positif dari Nunu,
temanku yang lebih dulu telah bergabung, aku memutuskan untuk bergabung di
organisasi yang sama, tidak mau menunda lagi.
Mataku mulai mencari-cari Nunu, pertanda
sesi wawancaraku sudah selesai. Aku memberi tanda bahwa aku siap untuk kembali
ke kampus. Nunu mendekatiku, sambil melangkah keluar ruangan, dia menghampiri
kumpulan cowok yang dari tadi cukup ramai, “aku ke Kabid-ku bentar ya Li”. Nunu
menghampiri salah seorang diantara mereka dan berbincang selama beberapa menit.
Wah..aku bertemu dengan laki-laki berkemeja coklat yang derap langkahnya
terngiang-ngiang ditelingaku itu, lagi. Siang ini dia mengenakan batik. “Ternyata
dia Kabid-nya Nunu”, batinku. Sempat beradu pandang dengannya beberapa detik, seperti
biasa aku hanya bisa tersenyum canggung. Pembicaraan mereka pun selesai, Nunu
pamit pada kabidnya. Si kabid bertanya, “temenmu Nu?”. “Iya mas”, jawab Nunu
ringan sambil jalan. Aku tersenyum sungkan ke kumpulan orang yang ada disana. Untuk kedua kalinya
aku merasakan bahwa ada yang berbeda saat aku melihat dia. “Mungkin hanya
perasaanku saja”, aku membatin seraya melangkah keluar mengikuti Nunu.
Tiba saatnya aku harus mengikuti
Pendidikan Dasar untuk anggota baru. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa
pelatihan ini adalah kali ketiga pertemuanku dengannya. Ada suatu sesi di
rangkaian pendidikan itu dimana anggota baru diperkenalkan perangkat Top
Manajemen Organisasi. Sore itu aku tahu bahwa namanya Aris Nugraha, Ketua
Bidang Kewirausahaan. Terdengar cukup
ekslusif bagi anggota baru yang masih bau kencur seperti aku. Dalam sesi itu juga diperkenalkan bidang-bidang
perangkat organisasi lengkap dengan deskripsinya masing-masing. Aku semakin
tertarik untuk memilih bidang kewirausahaan sebagai bidang yang akan aku ikuti,
karena memang sejak awal hanya bidang itu yang membuat aku tertarik. Beranjak
ke sesi diskusi, kebetulan sekali aku tergabung ke bagian bidang kewirausahaan.
Wah...kebetulan yang membahagiakan. Aku senang luar biasa karena aku ingin tahu
banyak hal tentang bidang itu. Menarik. Sesi tanya jawab pun dimulai, aku
bersemangat. Melontarkan beberapa pertanyaan dengan sangat antusias. Mas Kabid menjawab
pertanyaanku, “Kalau itu soal teknis, kamu temennya Nunu kan, mungkin biar lebih
jelas lansung tanya Nunu saja”, dia menjawab dengan logat khas Jogjanya. Aku
mengangguk, pertanda menerima jawabannya. Ada sedikit malu, namun aku merasakan
senang yang lebih besar.“Ternyata dia mengingatku”, pikirku. Sempat ada kontak
mata saat dia menjawab pertanyaanku. Aku tetap tidak bisa memaknai perasaan
berbeda yang aku rasakan saat dia menatapku. Hanya saja, aku merasakan energi
berbeda dari tatapanya. Sempat mempertanyakan makna perasaanku yang tidak biasa.
Tapi hanya sore itu.
Aku tersenyum simpul. Mungkin
senyum termanis yang aku miliki. Aku merasakan kembali emosiku setahun yang
lalu. Bayang-bayang cerita itu muncul dan tampil sebagai film romantis bagiku.
Perasaan memang terkadang berlebihan. Lagi-lagi aku tersenyum simpul mengingat
tingkah polahku waktu itu.Semuanya teringat jelas dan jernih dalam pikiranku.
Aku seolah merasakan kembali rasa senang luar biasa yang aku alami setiap kali
aku beradu pandang dengannya. Tatapan yang membuat aku tidak bisa berhenti mengingatnya.
Tatapan yang penuh makna bagiku saat itu, bahkan saat ini pun masih terekam
jelas dalam benakku. Benar-benar luar biasa.
Aku ingat bahwa tiba-tiba disuatu
malam Nunu mengirim chat padaku di Facebook.
Dia menyampaikan bahwa ada temannya yang ingin mengenalku lebih dekat. Sempat
kaget dan merasa lucu ketika aku membaca pesan itu. Bagaimana mungkin teman
Nunu yang di Semarang berpikir untuk mengenalku. Padahal belum pernah bertemu
sama sekali. Ternyata aku salah, bukan temannya yang di Semarang yang dimaksud.
Malam itu aku tau, bahwa dia, Aris Nugraha, Ketua Bidang Kewirausahaan itu
memiliki ketertarikan padaku. Sedikit aneh. Aku merasa senang. Aku menebak
mungkin ini arti dari tatapannya padaku.
Pasca chat tak terduga dari Nunu, tanpa sadar aku memperhatikannya di
setiap kesempatan aku bertemu dengannya. Selain respon dari sesuatu hal yang
aku tahu, setidaknya sekedar menilai apakah aku tertarik dengannya atau tidak.
Sebagai referensi untuk memutuskan memberi kesempatan baginya atau tidak sama
sekali. Dari pengamatanku, aku menyimpulkan
bahwa dia tergolong tipe yang kucari. Good
looking, cerdas, ramah, baik, alim dan hal-hal positif lainnya yang cukup
aku sukai.
“Assalamualaikum, Lia ya? Ini mas
Aris. Boleh kan, ngobrol-ngobrol sebentar?” tiba-tiba sebuah nomor tak dikenal
mengirimi aku pesan. Namun aku tidak kaget, aku cukup santai. Karena sebelumnya
aku sudah diberi bocoran oleh Nunu bahwa dia akan menghubungiku. Aku tersenyum
simpul menerima pesan pertama darinya. Mungkin berlebihan bila kubilang bahwa
malam itu aku merasa sebagai orang paling bahagia sedunia.
Sejak malam pertama dia
menghubungiku, dia jadi sering mengirimiku pesan dihari-hari berikutnya. Bahkan
bisa dibilang intens untuk sekedar
memberikan perhatian-perhatian kecil. Dia sering menanyai kabarku, aktivitas,
dan semua tentangku. Cukup bisa aku pahami bahwa dia serius ingin mengenalku
lebih dekat. Sempat beberapa kali mengajakku untuk sekedar berkeliling
menikmati keindahan kota Jogja, kota kebanggaannya. Meskipun aku selalu
mencari-cari alasan untuk menolak ajakannya, dia selalu rajin menghubungiku,
menanyaiku.
Hingga pada akhirnya pertahananku
luntur. Kami sepakat untuk bertemu. Sekedar untuk makan bersama. Kami tidak hanya
berdua. Ada Nunu yang ikut dalam acara
makan malam perdana aku dan dia. Meskipun lebih dari sebulan kami intens
berkirim pesan, belum pernah sekalipun bertatap muka dan bercakap-cakap secara
lansung. Meskipun sebenarnya kami sering bertemu, aku dan dia sama-sama sudah
ter-setting untuk sama-sama diam jika
berada di depan umum. Entah apa maksudnya. Dari aku pribadi, memang itulah
caraku menutupi rasaku jika aku merasa tertarik pada seseorang.
Selesai makan, kami berpisah dengan
Nunu. Arah kosan Nunu berbeda dengan arah kosanku dan tempat dia menitipkan
motornya. Aku berjalan berdua dengannya. Kami berjalan beriringan. Ya Tuhaan, kali
pertama aku berbicara lansung dengannya, aku harus berjalan beriringan
dengannya dan hanya berdua. Mendadak, malam di Jogja terasa berbeda. Terasa
lebih romantis dan damai saat aku mencuri pandang dan memandanginya tersenyum.
Kelap-kelip lampu dan suara mesin kendaraan menambah harmoni malam itu, indah
bagiku yang mulai merasakan perasaanku tidak biasa. Aku canggung. Mungkin dia
juga merasakan hal yang sama. Kami sama-sama berusaha memecahkan kekakuan
dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Cukup manjur untuk
melunturkan kekakuan kami berdua. Malam itu aku merasakan ada rasa nyaman
berbicara dengannya.
Hari-hari berikutnya kami semakin
sering bertukar cerita, saling memberikan perhatian-perhatian kecil. Aku mulai
terbiasa dan menikmati ritme ini. Hingga tanpa sadar, perhatian darinya menjadi
kebutuhan bagiku. Tiap subuh dan malam aku menunggu pesan darinya. Karena
kesibukan di kampus dan organisasi, itulah waktu rutin baginya menghubungiku. Aku
menikmati perhatian dan pesan-pesan darinya. Aku mulai membutuhkannya.
Senin pergi, tibalah Minggu. Hari
dan pekan terus berganti. Dia yang rutin mengirimi aku pesan setiap subuh dan
malam mulai beberapa kali absen dari aktivitas rutinnya. Hari berikutnya
semakin sering bolong, kemudian tidak menghubungi sama sekali. Sempat muncul
tanda tanya. Namun aku tidak berniat melakukan apa-apa. Hanya berpikiran baik
bahwa dia sedang sibuk. Mungkin nanti setelah urusannya selesai. “Apa alasanku
untuk mengharapkan dia rutin mengirimiku pesan? Toh aku bukan siapa-siapanya
dia”, batinku berusaha menguatkan diriku yang mulai merasa kehilangan. Hanya
itu yang bisa aku lakukan. Aku terlalu gengsi untuk menghubunginya lebih dulu.
Meskipun berusaha untuk menghibur diri sendiri, aku tidak bisa bohong bahwa aku
kehilangan dia. Aku telah terbiasa dengan dia yang ambil bagian dalam
hari-hariku selama tiga bulan terakhir. “Kenapa sekarang berhenti? Apa dia
sudah bosan? Segitu saja usahanya untuk mendekatiku?”, pertanyaan-pertanyaan
itu beruntun muncul dipikiranku.
Kuliah dikosongkan, karena dosen
yang bersangkutan ada acara lain ke luar kota. Aku bisa bersantai di kosan. Aku
nyalakan laptop kesayanganku, mengoneksikan modem dan mulai berselancar di
dunia maya. Tidak lupa sign in ke
akun Facebook-ku. Tengah asyik membaca artikel-artikel lifesytle, tiba-tiba ada nada pemberitahuan dari akun Facebook itu.
Aris Nugraha mengirimkan pesan kepadaku. Aku tersentak kaget. Setelah lebih
dari dua minggu tidak menghubungi aku sama sekali, siang ini dia muncul lagi
dihadapanku lewat akun Facebook-nya. Ada rasa senang yang luar biasa dalam
hatiku, ternyata dia masih mengingatku. Namun kesenangan itu tidak otomatis
bisa menghapus semua tanda tanyaku padanya.
A:
Siang Li, ga kuliah?
L:
Siaang, enggak mas. Kosong, jadinya Cuma ngumpulin tugas
A:
Lagi dimana?
L:
Lagi di kosan, hehehe
A:
Lama ga ngobrol ya? Apakabar?
L:
Heehehe, iya. Alhamdulillah. Mas Aris gimana? Lagi sibuk ya?
A:
Alhamdulillah juga. Sedikit sibuk.hehe.
Ga enak juga ya Li diam-diam kaya gini?
Ga enak juga ya Li diam-diam kaya gini?
L:
Ya iya juga sih..
A:
Ada yang mau Mas sampein Li, bisa?
L:
Yaudah sampein lewat sms aja ya mas. Aku mau off, ada acara ntar jam tiga.
A:
Oo..yaudah, ntar aja berarti. Ga enak kalo kepotong-potong. Hehehe
Aku tidak lagi membalas chat-nya, segera sign out dan bersiap untuk berangkat ke acara pertemuanku dengan
rekan-rekan di tim kerja. Aku bergegas melangkah, ada pemikiran lain dibenakku.
Percakapanku dengannya di chat Facebook
terlintas berulang-ulang dipikiranku. Aku menjadi tidak sabar menunggu acara
pertemuanku segera selesai dan bisa kembali melanjutkan percakapanku dengannya.
Sebenarnya aku sudah bisa menebak hal apa yang akan disampaikannya padaku. Tadi
pagi dikampus aku sudah diberi bocoran oleh Nunu. Aku cukup mengapresiasi
keberaniannya untuk kembali menghubungiku lagi.
Handphone-ku
berdering. Ada pesan darinya. Dia menepati janjinya. Menghubungiku kembali setelah
acara ku selesai. Jantungku mulai berdetak tidak karuan, mulai kencang dan
tidak beraturan. Aku gugup membaca pesannya.
A:
Halo Li, udah pulang? Lagi apa ni?
L:
Iya mas, baru aja. Ga ngapa-ngapain, ada apa ni?
A: Oke, lansung aja ya. Sebelumnya Mas Aris mau minta maaf sama kamu.
Dalam masa perkenalan dengan kamu, Mas juga dekat sama cewek lain.
Sekarang Mas sudah memilih dia. Maafin Mas Aris ya,
semoga kita tetap bisa berteman dan bertukar kabar.
A: Oke, lansung aja ya. Sebelumnya Mas Aris mau minta maaf sama kamu.
Dalam masa perkenalan dengan kamu, Mas juga dekat sama cewek lain.
Sekarang Mas sudah memilih dia. Maafin Mas Aris ya,
semoga kita tetap bisa berteman dan bertukar kabar.
Benar. Penjelasan yang sudah kuduga
akan dia sampaikan padaku. Detak jantungku semakin kencang dan tidak jelas
arahnya. Meskipun sudah mengetahui sebelumnya, aku tetap saja shock karena penjelasan itu lansung
darinya. Mataku mulai terasa berat, cairan bening mulai membasahi pipiku. Ada
rasa tidak ikhlas dan tidak terima yaang cukup besar. Aku ingin marah. Namun
posisiku sangat lemah karena memang aku bukan siapa-siapa dia. Aku merasa
dipermainkan. Sekarang dia jujur dengan apa yang telah dilakukannya padaku. Aku
malu. Aku merasa bodoh karena terlalu dini menganggap dia menginginkan aku.
Malam ini aku tau bahwa ternyata ada cewek lain yang lebih menarik baginya. Dia
mendekati cewek itu, disaat yang
bersamaan dia memberikan perhatian-perhatian ajaib padaku.
L:
Oooh....itu. Ya ga papa kok mas. Santai aja. Salam ya buat mbaknya
Aku berusaha tenang, dan memberikan
jawaban terbaik yang aku bisa.
A:
Mas ga enak sama kamu Li. Maafin Mas ya. Kalo kamu marah, wajar kok.
Mas maklum.
Mas maklum.
L:
Ah..santai aja mas. Aku ga kenapa-napa kok,,hahha
A:
Siip...Mas senang bisa kenal kamu Li.
Semoga kamu mendapatkan yang terbaik
Semoga kamu mendapatkan yang terbaik
Malam itu, harapan-harapanku
tentang cinta sejati kembali hancur. Baru saja aku berusaha membuka hati pasca
gagal move on dari kisahku
sebelumnya. Dia yang menawarkan aku harapan baru, ternyata berhenti ditengah
jalan. Dia datang seperti hujan, membuat aku menikmati dinginnya. Disaat aku
mulai nyaman, dia menghilang. Teduh. Berhenti membasahi seketika. Aku kecewa.
Aku kembali menjalani hari-hariku sebagaimana
seharusnya. Tanpa pesan darinya di pagi dan malam hari. Tanpa perhatian
darinya. Masa-masa itu terasa sedikit sulit. Disaat-saat itulah aku rajin
menuliskan perasaanku. Blog-ku
mendapatkan asupan gizi tiap malam, makanan tentang perasaanku tiap harinya.
Aku berusaha keras untuk move on.
Menata kembali hatiku yang sedikit hancur karena merasa dipermainkan. Aku
menyalahkan diriku yang terlalu cepat berharap. Dia tidak salah jika mendekati
dua orang sekaligus dan memilih salah satu diantaranya. Berarti cewek itu lebih
baik dariku.
Dua bulan sudah aku tidak
berhubungan sama sekali dengannya. Intensitas bertemu yang cukup sering cukup
menyulitkan masa pemulihanku. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari aku
berpapasan dengannya. Dipintu, ditangga, di mushola, di banyak tempat. “Apa
dunia ini terlalu kecil, hingga selalu dia yang aku temui?’, batinku kesal. Tatapannya.
Tatapan itu masih tetap sama dengan beberapa bulan yang lalu. Aku membenci
situasi itu. Tidak jarang aku salah tingkah karenanya. Sungkan untuk menyapa,
untuk berlagak tidak tahu pun aku merasa sangat jahat. Posisi yang cukup
dilematis. Aku merasa sudah diambang batas. Aku tidak tahan terus-terusan
menahan sendiri perasaanku. Aku ingin meluapkan rasaku, setidaknya bisa membuat
aku lega. Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Nunu perihal perasaanku,
karena sebelumnya dia yang menjadi penghubung antara aku dan Mas Aris. Aku
merasa Nunu wajar untuk tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. “Nu, aku mau
ngasih tahu sesuatu. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Jangan diketawain”, aku
memulai. “Apa Li? Tenang ga bakalan aku bocorin.Apasih?”, Nunu penasaran.
“Ehm.....kayaknya aku suka sama Mas Aris deh. Cuma itu kok Nu, aku nggak
berharap apa-apa. Kamu jangan kasih tau siapa-siapa, termasuk dia”, ucapku
pasrah sekaligus antisipatif.
Cukup lega rasanya telah
mengungkapkan perasaanku ke Nunu. Memang tidak akan merubah apa-apa.
Setidaknya, bisa membuat aku lega. Malam itu untuk kesekian kalinya aku merasakan
rindu padanya. Aku buka histori chat-nya
beberapa bulan yang lalu. “Coba aja, dia masih seperti ini. Aku rindu”,
lagi-lagi aku membatin. Kring....kring....Layar handphone-ku berkedip. Ada sebuah pesan masuk. Aku buka pesan itu
dengan sedikit malas. Mataku terbelalak. Detak jantungku mendadak berpacu, beradu
cepat. Tanganku gemetar saking kagetnya membaca nama pengirim pesan. Mas Aris.
Dia menghubungiku lagi setelah lebih dari dua bulan kita tidak berkomunikasi
sama sekali. Bahkan aku sudah kehilangan banyak sekali harapan dia akan datang
menghubungiku kembali. Ternyata malam ini harapan itu muncul lagi. Aku senang
tak terkira. Namun ada hasrat untuk marah, “Kenapa dia harus datang lagi, jika
memang sudah memilih cewek itu? Apa memang sifat cowok seperti ini?”, aku
berburuk sangka padanya.
Akhirnya aku tahu bahwa ternyata
dia tidak jadian dengan cewek yang waktu itu. Hanya berteman. Ternyata si cewek
lebih memilih setia dengan pasangannya. Aku juga tau bahwa alasan dia lebih
memilih cewek itu adalah karena putus asa, dia mengira aku tidak menyukainya.
Berita yang cukup membuatku lega. “Seandainya dia tau, aku mati-matian
menyembunyikan rasaku”, aku tersenyum girang. Pasca pesan mengejutkan malam
itu, kami kembali intens berhubungan.
Bahkan jauh lebih intens. Mungkin karena aku sudah menyadari perasaanku padanya,
aku tidak lagi jaim dan ragu-ragu
menunjukkan perhatianku. Aku tidak sungkan dan takut jika dia mengajakku jalan.
Bahkan aku menunggu-nunggu saat-saat berjalan berdua dengannya menikmati
indahnya romantika kota Jogja. Sebagai pendatang, aku tidak banyak tahu tentang
tempat-tempat bagus di Kota Pelajar ini. Kebetulan sekali, dia keturunan Jogja
asli. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak tawaran jalan-jalan darinya. Dia
mengajakku mendaki Gunung Langgeran. Disitulah kali pertama dia memberiku
filosofi positif yang aku ingat hingga sekarang, “Kalau kamu ngerasa capek dan
susah, itu artinya kamu lagi naik tingkat. Sebaliknya, kalau kamu ngerasa
nyaman dan santai, artinya kamu lagi turun tingkat. Hati-hati, jangan terlena
dengan hal yang membuatmu nyaman”. Kata-kata itu membuat aku semakin
menyukainya. “Ya Allah, aku jatuh cinta”, hatiku berbisik. Kami menikmati
semilir angin di Pantai Baru, cukup sejuk dan asri. Suasana sangat mendukung
dan memahami suasana hatiku yang sangat nyaman kala dia antusias menanyai
tentang aku, memandangku dengan tatapan yang selalu sama. Kami menikmati
indahnya warna-warni lampu di Taman Pelangi, makan berdua di warung lesehan,
mengikuti seminar bersama, bahkan sekedar makan siangpun aku selalu menikmati
waktuku dengannya. Tidak ada lagi halangan. Cukup jelas bahwa aku dan dia
saling menyukai satu sama lain. Kami memutuskan untuk menjalani komitmen
bersama, mencoba saling mengenal lebih dekat. “Ya Tuhaan, aku nggak jomblo
lagi”, aku girang. Aku sangat bahagia, begitupun dia. Aku tahu dia sangat senang
saat aku menjawab “ya”, aku menerimanya menjadi seseorang yang dekat denganku.
Hari berganti, bulan pun terus
berlalu. Kami menjalani komitmen dengan sangat baik. Tidak pernah terjadi
pertengkaran ataupun percekcokan yang cukup serius diantara kami. Kami cukup
dewasa untuk bisa saling memahami satu sama lain. Memahami kelebihan dan kekurangan,
memberi ruang untuk aktivitas satu sama lain dan sebagainya. Saling memberi
semangat, dukungan dan mengirimkan do’a. Dia sering mengatakan padaku, “Mas
sayang sama kamu Li, kita jaga baik-baik ya, Mas nggak salah milih kamu”. Aku
sangat bahagia. Aku merasa beruntung memiliki seseorang seperti dia. Pintar,
cerdas, baik, jujur, alim, setia, dan sebagainya. Dia berbeda. Dia laki-laki
terbaik yang pernah kutemukan. Semua yang aku cari dan aku butuhkan dari
seorang pasangan, ada padanya. “Ya Tuhaan, terimakasih atas nikmat ini”, aku
sangat bersyukur.
“Apa mas? Bisa coba diulangi lagi?”,
ucapku parau. Mataku mulai berkaca-kaca. Ada gerakan tidak nyaman dipipiku. Tubuhku
gemetar. Aku berusaha keras menahan tangis. Aku kaget. Aku tidak pernah menduga
dia akan mengatakan hal ini padaku. “Iya, sebelum aku mengambil keputusan ini
sudah kupikir matang-matang. Ini yang terbaik buat kita. Kenapa terus menjalani
hal yang sudah kita tahu jelas-jelas salah. Memang lebih baik kita
mengembalikan status menjadi teman biasa. Kamu bisa menganggap aku seperti
teman-temanmu yang lain, begitu juga aku”, ucapnya yakin. Ternyata benar, aku tidak
salah mendengar. Dia ingin hubungan diantara kami hanya sekedar teman biasa. Sakit.
Takut kehilangan. Semuanya terasa begitu kompleks. Bagaimana bisa aku
mengatakan tidak setuju dengan keputusan yang jelas-jelas mulia ini. Dia
menjalankan aturan agama. Dia menghindarkan aku dan dia dari dosa. Kita tidak
boleh pacaran. Meskipun tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma,
sendiri-sendiri memang jauh lebih baik. Aku pribadi sebenarnya sependapat
dengan apa yang dia yakini, aku membenarkan. Aku tidak punya kata-kata yang
bisa kuucapkan. Hanya hatiku yang bisa membenarkan dan menerima keputusan yang
memang terasa berat ini. Aku tidak menjawab apa-apa. Hanya meminta dia
mengantarku pulang dan larut dalam tangis. Larut dalam dialog dengan diriku
sendiri, antara membenarkan dan menyalahkan keputusan yang mengejutkan itu.
Malam terasa begitu menyakitkan dan dramatis. Aku merasa salah telah lancang
berpikir bahwa aku memilikinya. “Esok, dan selanjutnya mungkin aku akan kehilangan
dia, tidak ada lagi percakapan diantara kami. Tidak akan ada lagi jalan-jalan
diakhir pekan sekedar berceloteh di pinggir pantai ditemani semilir angin.
Tidak akan ada lagi yang mengingatkan aku untuk rajin makan. Pesan di pagi dan
malam hari semuanya akan hilang”, pikirku. Satu per satu aktivitas yang sering
kami lakukan bersaman bermunculan secara bergantian. Hatiku semakin pilu. Sakit.
Aku seperti kehilangan separuh kekuatanku. Aku menangis semakin kencang. Tidak
kusangka akan berakhir cepat dan seperih ini. Aku baru saja merasakan senang
yang luar biasa bersamanya. Bahkan sudah membayangkan aku dan dia akan terus
bersama. Berdampingan berdua menjaga komitmen kami. Nyatanya, hubunganku dan
dia sudah berakhir. Aku dan dia akan menjalani hidup sendiri-sendiri tanpa
komunikasi antara kami dihari-hari berikutnya. Lagi-lagi tangisku semakin
menjadi.
Layar handphone-ku berkedip. Ada sebuah pesan masuk.
Mas
Aris
Li,
Mas Aris tetap sayang kamu lho. Jangan sedih, jangan takut. Ga selamanya apa
yang baik menurut kita akan baik menurut Tuhan, begitu pula sebaliknya. Kita
percayakan saja yang terbaik kepada-Nya. Kalau memang kita akan berjodoh, pasti
kita akan dipertemukan lagi. Mas Aris ga munafik kalau Mas sangat sayang sama
kamu. Mas senang bisa memilikimu. Namun kenyataannya, kita terlalu cepat
bertemu. Lebih baik kita fokus pada pemantasan diri masing-masing. Sekarang,
begini lah satu-satunya cara yang bisa Mas lakukan untuk menyayangimu. Memang
terdengar aneh dan berbeda dari orang yang kebanyakan. Semoga kamu bisa
mengerti. Jaga dirimu baik-baik, belajar yang rajin, pantaskan diri dihadapan
Tuhan, selalu tersenyum, cari teman yang banyak. Semoga kita diberikan yang
terbaik.
Tangisku semakin deras, sesak, sedu
dan sedan. Sakit. Dadaku terasa semakin sesak karena menangis cukup lama.
Hatiku perih membaca pesannya. Aku semakin sadar bahwa ternyata aku sudah
sangat menyayanginya. Terlanjur dalam perasaanku untuknya. Pesannya membuat aku
merasakan cinta yang semakin besar padanya. “Subhanallah, aku merasakan perasaan
seperti ini Ya Tuhaaan. Jaga dia dimanapun berada. Aku menyayanginya. Jaga hati
masing-masing kami jika memang kami baik untuk dipersatukan. Sampaikan padanya,
aku merindukannya”, aku berdoa pada Sang Pencipta.
Kring.....kring.....layar handphone-ku menyala. Aku tersadar dari
lamunanku. Aku tidak sedang berada pada situasi yang begitu dramatis beberapa
bulan yang lalu. Hanya ada laptop didepanku. Alunan instrumen lembut menemaniku.
Ah...aku terlalu rindu padanya. Semua ingatan tentangnya masih sangat jelas dan
detail. “Apa kabar dia sekarang?Semoga
dia disana masih mengingatku”, harapku.
Minggu, 15 September 2013
ME>> The REAL Me
Tengah gejolak emosi yang pasang surut dan kurang stabil ini saya ingin mencoba me-list hal-hal yang benar-benar saya mau, apa yang saya butuhkan, dan apa yang harus saya lakukan. Harapannya sih, biar kegalauan ini ga berlanjut dan saya bisa lebih FOKUS dalam menentukan pilihan dan memilih hal-hal yang harus saya lakukan sehingga ga ada lagi yang sia-sia.
Bismillahirrahmaanirrahiim..
What I really want?
Then, Bismillah untuk hari esok yang lebih baik dan masa depan yang gemilang.
Bismillahirrahmaanirrahiim..
What I really want?
- Saya ingin wisuda di november 2015 dengan IPK min 3,2
- Saya ingin memiliki score TOEFL min 550
- Saya ingin memiliki kemampuan persuasif yang bagus
- Saya ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sehingga tidak grogi jika harus berbicara di depan umum secara meyakinkan.
- Saya ingin bekerja di ASTRA Internasional selulus kuliah
- Saya ingin bebas secara finansial sebelum usia 30 tahun
- Saya ingin ke mekah dengan kedua Orang Tua tercinta dengan biaya saya
- Saya ingin menjadi pengusaha di bidang Properti, Fashion, dan Kuliner&Budaya
- Saya ingin memiliki usaha mandiri yang sudah di mulai sejak saya masih berstatus mahasiswa
- Saya ingin Hafal Juz 30
- Saya ingin menjadi penulis bermutu
- Saya ingin menjadi wanita solehah yang cerdas dan bijaksana
- Saya ingin memiliki pasangan yang soleh, cerdas, bijaksana, tampan dan sangat menyayangi saya serta setia
- Fokus dan Rajin Kuliah
- Intensive English
- Care terhadap Kondisi dan Ide Bisnis
- Belajar
Then, Bismillah untuk hari esok yang lebih baik dan masa depan yang gemilang.
ME>> I AM ASKING MY SELF
Dua
minggu terakhir terasa begitu menjemukan. Jenuh, bingung, gelisah, malas dan
segala macam bentuk perasaan yang tidak beraturan itu membuat hari-hariku
membosankan. Ada hal aneh yang membuat aku ga fokus untuk melakukan apapun. Kenapa
aku? Aku sendiri menyimpulkan bahwa aku tengah jenuh dengan rutinitasku. Iya
kah seperti itu? Bukankah dua minggu ini aku baru memulai kembali aktivitas
pasca waktu libur yang cukup lama, satu setengah bulan bukankah waktu yang
lumayan lama untuk sekedar melepas penat?
Apakah
ada hal yang lain yang mungkin menjadi pengganggu mood dan pikiranku? Apakah
ini soal dia? Ah....bukan. Tidak ada hubungannya perasaan gelisahku akhir-akhir
ini dengan dia. Lantas apa? Apakah masalahnya itu diriku sendiri? Aku mendadak
merasa ingin sekali mencoba-coba hal yang baru. Semuanya inginku lakukan. Aku mulai
mencari-ceri informasi terkait lomba menulis, kompetisi bisnis, pelatihan dan
berbagai seminar, semuanya aku buru. Aku berpikir, mungkin aku tengah berada di
titik jenuh yang cukup akut. Namun ternyata hal itu belum menjadi solusi.
Disaat aku sudah tau bahwa ada peluang ini dan itu yang bisa aku coba, malah
rasa malas memulai membuat aku tak melakukan apa-apa.
Haduuh...kenapa
situasi mendadak menjadi sulit seperti ini. Aku merasa kacau dua minggu
terakhir ini. Hari ku terasa tidak berharga. Malam nya begadang hingga dini
hari. Kenapa? Hanya sekedar googling membuka-buka informasi, disaat info yang
berharga aku temui, aku tidak melakukan apa-apa. Paginya bangun siang, bahkan
subuhnya telat. Jam enam, jam setengah enam pagi baru shalat subuh. Apa-apaan
ini? Astagfirullah. Luar biasa parah.
Apakah
aku terlalu menuntut diriku menjadi seseorang yang WOW, sehingga aku ingin
melakukan semua hal yang menurut persepsiku menjadikan seseorang menjadi WOW,
padahal diriku tidak terlaku menginginkan itu? Benarkah begitu? Ah....aku rasa
tidak. Aku ingin melakukan apa yang aku ingin lakukan. Aku melakukan yang aku
sukai dan membuat aku tertantang. Lantas apa masalahnya sekarang? Kenapa suasana hati yang kacau ini terasa menjadi
cukup kompleks?
Aku
mulai mendapatkan gambaran. Sepertinya memang yang tengah bermasalah memang
diriku sendiri. Aku belum mengendalikan nafsuku dengan baik, nafsu untuk
mencoba banyak hal, nafsu untuk segera sukses. Aku terlalu memupuk ego untuk
menonjolkan diri sehingga terlalu serakah untuk melakukan apapun, sedangkan aku
belum sanggup untuk semua itu. Sehingga aku menjadi tidak fokus, dan apa yang
aku mulai menjadi tidak selesai. Butuh kekuatan untuk menahan ego pribadi. Aku
tidak mau terus-terusan begini. Tahun ini aku harus bisa mentransformasi diri
untuk menjadi seseorang yang bernilai. Bernilai dihadapan Tuhan dan dihadapan
manusia. Sehingga kehidupan yang aku cita-citakan bisaku genggam.
Langganan:
Postingan (Atom)