Selasa, 17 September 2013

CERPEN>> Dua Kata Untukmu : Aku Merindukanmu



Ini adalah kali kesekiannya rasa rindu menggerogotiku. Rindu. Satu kata yang berulang-ulang muncul dibenakku. Namun apa daya? Apa yang bisa aku lakukan? Apakah aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku rindu?  Ah...jangan bercanda. Stok gengsiku sudah cukup terbatas untuk kulepaskan begitu saja. Aku tidak akan mungkin menghubungi dia, kemudian mengatakan bahwa aku sedang merindukannya. Selain merasa berdosa, pasti rasa malu yang cukup dahsyat akan menyerangku. Lupakan saja soal mengatakan kepadanya  bahwa aku kangen.
            Ingin rasanya mencurahkan luapan rasaku ini kedalam sebuah tulisan sebagaimana mana biasa hal yang aku lakukan jika aku merasakan sesuatu  yang membuat perasaanku sedikit tidak normal. Kunyalakan laptop hitam kesayanganku dan segera membuka Microsoft Word. Jemariku mulai bergerak lincah menyusun kata demi kata hingga tanpa sadar aku sudah menyusun satu paragraf pendek. Tampaknya rindu kali ini tidak cukup mengantarkan aku menjadi pujangga semalam. Tulisanku terhenti. Aku tidak mampu merangkai kata untuk mengungkapkan perasaan campur aduk yang aku rasakan pada episode rinduku malam ini.
            Tiba-tiba teringat bahwa dua tahun yang lalu aku masih rajin menulis, menyampaikan keluh kesahku dalam sebuah blog pribadi yang memang sengaja tidakku-publish. Alangkah menariknya jika aku kembali membuka tulisan-tulisan lama yang pernah aku buat, aku bisa kembali merasakan emosiku waktu itu. Perlahan aku masukkan alamat blogku di mesin pencari. Sebuah tampilan biru dengan kombinasi bunga berwarna putih perlahan muncul. Ada ratusan tulisan disana. Itu berarti bahwa telah ratusan kali kuungkapkan gejolak dan dinamika rasaku di blog ini.
Kamu datang bagaikan hujan
Membahasahi aku tanpa aku sempat menolak
Kau buat aku terbiasa dengan rintik-rintikmu
Kemudian kamu reda
Awalnya aku berpikir bahwa kamu bukan apa-apa
Hanya sekedar anak alam
Hingga aku tersadar bahwa aku kuyup dan kamu berlalu
Yaa.....basah kuyup ini adalah jejakmu
Dan membekas
Hingga aku tersadar bahwa kamu adalah sesuatu
Ya, kamu hujan...
Kamu datang dan pergi begitu saja...
Dan kamu sempat memberi tanda padaku
Ya, aku basah karena hujan
Kuyup ini mengingatkanku padamu
Kamu tak sekedar datang dan pergi seperti yang aku tau
Kamu masuk dalam ingatanku
Aku tak punya harapan apapun
Jika memang kamu harus berlalu...
Semoga kuyup ini segera kering...

            Siang itu, aku mendatangi sebuah gedung yang tidak jauh dari kampusku hanya untuk menemani seorang teman yang akan menjalani sesi wawancara sebuah UKM, sekedar  menemani. Setelah beberapa menit menunggu, ada derap langkah di tangga menuju lantai dua, tempat aku dan beberapa calon anggota yang akan di wawancara menunggu. Pemilik langkah itu ternyata si pewawancara, laki-laki berkemeja dan celana bahan nuansa coklat. Emm....ada suatu yang lain saat aku melihatnya. Entahlah.....aku tidak bisa menjelaskan apa itu, yang aku tahu hanya ada yang berbeda. Bukti dari perbedaan itu, aku bisa mengingat awal aku melihat dan bertemu dengannya, semoga ini cukup menjelaskan kesan pertamaku bertemu dengannya.
            Tidak lebih tiga bulan dari pertama kali aku menginjakkan kaki di gedung itu, akhirnya setelah beberapa pertimbangan ditambah lagi dengan informasi dan pejelasan positif dari Nunu, temanku yang lebih dulu telah bergabung, aku memutuskan untuk bergabung di organisasi yang sama, tidak mau menunda lagi.
Mataku mulai mencari-cari Nunu, pertanda sesi wawancaraku sudah selesai. Aku memberi tanda bahwa aku siap untuk kembali ke kampus. Nunu mendekatiku, sambil melangkah keluar ruangan, dia menghampiri kumpulan cowok yang dari tadi cukup ramai, “aku ke Kabid-ku bentar ya Li”. Nunu menghampiri salah seorang diantara mereka dan berbincang selama beberapa menit. Wah..aku bertemu dengan laki-laki berkemeja coklat yang derap langkahnya terngiang-ngiang ditelingaku itu, lagi. Siang ini dia mengenakan batik. “Ternyata dia Kabid-nya Nunu”, batinku. Sempat beradu pandang dengannya beberapa detik, seperti biasa aku hanya bisa tersenyum canggung. Pembicaraan mereka pun selesai, Nunu pamit pada kabidnya. Si kabid bertanya, “temenmu Nu?”. “Iya mas”, jawab Nunu ringan sambil jalan. Aku tersenyum sungkan ke kumpulan  orang yang ada disana. Untuk kedua kalinya aku merasakan bahwa ada yang berbeda saat aku melihat dia. “Mungkin hanya perasaanku saja”, aku membatin seraya melangkah keluar mengikuti Nunu.
Tiba saatnya aku harus mengikuti Pendidikan Dasar untuk anggota baru. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa pelatihan ini adalah kali ketiga pertemuanku dengannya. Ada suatu sesi di rangkaian pendidikan itu dimana anggota baru diperkenalkan perangkat Top Manajemen Organisasi. Sore itu aku tahu bahwa namanya Aris Nugraha, Ketua Bidang Kewirausahaan.  Terdengar cukup ekslusif bagi anggota baru yang masih bau kencur seperti aku.  Dalam sesi itu juga diperkenalkan bidang-bidang perangkat organisasi lengkap dengan deskripsinya masing-masing. Aku semakin tertarik untuk memilih bidang kewirausahaan sebagai bidang yang akan aku ikuti, karena memang sejak awal hanya bidang itu yang membuat aku tertarik. Beranjak ke sesi diskusi, kebetulan sekali aku tergabung ke bagian bidang kewirausahaan. Wah...kebetulan yang membahagiakan. Aku senang luar biasa karena aku ingin tahu banyak hal tentang bidang itu. Menarik. Sesi tanya jawab pun dimulai, aku bersemangat. Melontarkan beberapa pertanyaan dengan sangat antusias. Mas Kabid menjawab pertanyaanku, “Kalau itu soal teknis, kamu temennya Nunu kan, mungkin biar lebih jelas lansung tanya Nunu saja”, dia menjawab dengan logat khas Jogjanya. Aku mengangguk, pertanda menerima jawabannya. Ada sedikit malu, namun aku merasakan senang yang lebih besar.“Ternyata dia mengingatku”, pikirku. Sempat ada kontak mata saat dia menjawab pertanyaanku. Aku tetap tidak bisa memaknai perasaan berbeda yang aku rasakan saat dia menatapku. Hanya saja, aku merasakan energi berbeda dari tatapanya. Sempat mempertanyakan makna perasaanku yang tidak biasa. Tapi hanya sore itu.
Aku tersenyum simpul. Mungkin senyum termanis yang aku miliki. Aku merasakan kembali emosiku setahun yang lalu. Bayang-bayang cerita itu muncul dan tampil sebagai film romantis bagiku. Perasaan memang terkadang berlebihan. Lagi-lagi aku tersenyum simpul mengingat tingkah polahku waktu itu.Semuanya teringat jelas dan jernih dalam pikiranku. Aku seolah merasakan kembali rasa senang luar biasa yang aku alami setiap kali aku beradu pandang dengannya. Tatapan yang membuat aku tidak bisa berhenti mengingatnya. Tatapan yang penuh makna bagiku saat itu, bahkan saat ini pun masih terekam jelas dalam benakku. Benar-benar luar biasa.
Aku ingat bahwa tiba-tiba disuatu malam Nunu mengirim chat padaku di Facebook. Dia menyampaikan bahwa ada temannya yang ingin mengenalku lebih dekat. Sempat kaget dan merasa lucu ketika aku membaca pesan itu. Bagaimana mungkin teman Nunu yang di Semarang berpikir untuk mengenalku. Padahal belum pernah bertemu sama sekali. Ternyata aku salah, bukan temannya yang di Semarang yang dimaksud. Malam itu aku tau, bahwa dia, Aris Nugraha, Ketua Bidang Kewirausahaan itu memiliki ketertarikan padaku. Sedikit aneh. Aku merasa senang. Aku menebak mungkin ini arti dari tatapannya padaku.
Pasca chat tak terduga dari Nunu, tanpa sadar aku memperhatikannya di setiap kesempatan aku bertemu dengannya. Selain respon dari sesuatu hal yang aku tahu, setidaknya sekedar menilai apakah aku tertarik dengannya atau tidak. Sebagai referensi untuk memutuskan memberi kesempatan baginya atau tidak sama sekali. Dari pengamatanku, aku  menyimpulkan bahwa dia tergolong tipe yang kucari. Good looking, cerdas, ramah, baik, alim dan hal-hal positif lainnya yang cukup aku sukai.
“Assalamualaikum, Lia ya? Ini mas Aris. Boleh kan, ngobrol-ngobrol sebentar?” tiba-tiba sebuah nomor tak dikenal mengirimi aku pesan. Namun aku tidak kaget, aku cukup santai. Karena sebelumnya aku sudah diberi bocoran oleh Nunu bahwa dia akan menghubungiku. Aku tersenyum simpul menerima pesan pertama darinya. Mungkin berlebihan bila kubilang bahwa malam itu aku merasa sebagai orang paling bahagia sedunia.
Sejak malam pertama dia menghubungiku, dia jadi sering mengirimiku pesan dihari-hari berikutnya. Bahkan bisa dibilang intens untuk sekedar memberikan perhatian-perhatian kecil. Dia sering menanyai kabarku, aktivitas, dan semua tentangku. Cukup bisa aku pahami bahwa dia serius ingin mengenalku lebih dekat. Sempat beberapa kali mengajakku untuk sekedar berkeliling menikmati keindahan kota Jogja, kota kebanggaannya. Meskipun aku selalu mencari-cari alasan untuk menolak ajakannya, dia selalu rajin menghubungiku, menanyaiku.
Hingga pada akhirnya pertahananku luntur. Kami sepakat untuk bertemu. Sekedar untuk makan bersama. Kami tidak hanya berdua. Ada Nunu yang  ikut dalam acara makan malam perdana aku dan dia. Meskipun lebih dari sebulan kami intens berkirim pesan, belum pernah sekalipun bertatap muka dan bercakap-cakap secara lansung. Meskipun sebenarnya kami sering bertemu, aku dan dia sama-sama sudah ter-setting untuk sama-sama diam jika berada di depan umum. Entah apa maksudnya. Dari aku pribadi, memang itulah caraku menutupi rasaku jika aku merasa tertarik pada seseorang.
            Selesai makan, kami berpisah dengan Nunu. Arah kosan Nunu berbeda dengan arah kosanku dan tempat dia menitipkan motornya. Aku berjalan berdua dengannya. Kami berjalan beriringan. Ya Tuhaan, kali pertama aku berbicara lansung dengannya, aku harus berjalan beriringan dengannya dan hanya berdua. Mendadak, malam di Jogja terasa berbeda. Terasa lebih romantis dan damai saat aku mencuri pandang dan memandanginya tersenyum. Kelap-kelip lampu dan suara mesin kendaraan menambah harmoni malam itu, indah bagiku yang mulai merasakan perasaanku tidak biasa. Aku canggung. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama. Kami sama-sama berusaha memecahkan kekakuan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Cukup manjur untuk melunturkan kekakuan kami berdua. Malam itu aku merasakan ada rasa nyaman berbicara dengannya.
Hari-hari berikutnya kami semakin sering bertukar cerita, saling memberikan perhatian-perhatian kecil. Aku mulai terbiasa dan menikmati ritme ini. Hingga tanpa sadar, perhatian darinya menjadi kebutuhan bagiku. Tiap subuh dan malam aku menunggu pesan darinya. Karena kesibukan di kampus dan organisasi, itulah waktu rutin baginya menghubungiku. Aku menikmati perhatian dan pesan-pesan darinya. Aku mulai membutuhkannya.
Senin pergi, tibalah Minggu. Hari dan pekan terus berganti. Dia yang rutin mengirimi aku pesan setiap subuh dan malam mulai beberapa kali absen dari aktivitas rutinnya. Hari berikutnya semakin sering bolong, kemudian tidak menghubungi sama sekali. Sempat muncul tanda tanya. Namun aku tidak berniat melakukan apa-apa. Hanya berpikiran baik bahwa dia sedang sibuk. Mungkin nanti setelah urusannya selesai. “Apa alasanku untuk mengharapkan dia rutin mengirimiku pesan? Toh aku bukan siapa-siapanya dia”, batinku berusaha menguatkan diriku yang mulai merasa kehilangan. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku terlalu gengsi untuk menghubunginya lebih dulu. Meskipun berusaha untuk menghibur diri sendiri, aku tidak bisa bohong bahwa aku kehilangan dia. Aku telah terbiasa dengan dia yang ambil bagian dalam hari-hariku selama tiga bulan terakhir. “Kenapa sekarang berhenti? Apa dia sudah bosan? Segitu saja usahanya untuk mendekatiku?”, pertanyaan-pertanyaan itu beruntun muncul dipikiranku.
Kuliah dikosongkan, karena dosen yang bersangkutan ada acara lain ke luar kota. Aku bisa bersantai di kosan. Aku nyalakan laptop kesayanganku, mengoneksikan modem dan mulai berselancar di dunia maya. Tidak lupa sign in ke akun Facebook-ku. Tengah asyik membaca artikel-artikel lifesytle, tiba-tiba ada nada pemberitahuan dari akun Facebook itu. Aris Nugraha mengirimkan pesan kepadaku. Aku tersentak kaget. Setelah lebih dari dua minggu tidak menghubungi aku sama sekali, siang ini dia muncul lagi dihadapanku lewat akun Facebook-nya. Ada rasa senang yang luar biasa dalam hatiku, ternyata dia masih mengingatku. Namun kesenangan itu tidak otomatis bisa menghapus semua tanda tanyaku padanya.
A: Siang Li, ga kuliah?
L: Siaang, enggak mas. Kosong, jadinya Cuma ngumpulin tugas 
A: Lagi dimana?
L: Lagi di kosan, hehehe
A: Lama ga ngobrol ya? Apakabar?
L: Heehehe, iya. Alhamdulillah. Mas Aris gimana? Lagi sibuk ya?
A: Alhamdulillah juga. Sedikit sibuk.hehe.
             Ga enak juga ya Li diam-diam kaya gini?
L: Ya iya juga sih..
A: Ada yang mau Mas sampein Li, bisa?
L: Yaudah sampein lewat sms aja ya mas. Aku mau off, ada acara ntar jam tiga.
A: Oo..yaudah, ntar aja berarti. Ga enak kalo kepotong-potong. Hehehe
Aku tidak lagi membalas chat-nya, segera sign out dan bersiap untuk berangkat ke acara pertemuanku dengan rekan-rekan di tim kerja. Aku bergegas melangkah, ada pemikiran lain dibenakku. Percakapanku dengannya di chat Facebook terlintas berulang-ulang dipikiranku. Aku menjadi tidak sabar menunggu acara pertemuanku segera selesai dan bisa kembali melanjutkan percakapanku dengannya. Sebenarnya aku sudah bisa menebak hal apa yang akan disampaikannya padaku. Tadi pagi dikampus aku sudah diberi bocoran oleh Nunu. Aku cukup mengapresiasi keberaniannya untuk kembali menghubungiku lagi.
Handphone-ku berdering. Ada pesan darinya. Dia menepati janjinya. Menghubungiku kembali setelah acara ku selesai. Jantungku mulai berdetak tidak karuan, mulai kencang dan tidak beraturan. Aku gugup membaca pesannya.
A: Halo Li, udah pulang? Lagi apa ni?
L: Iya mas, baru aja. Ga ngapa-ngapain, ada apa ni?
A: Oke, lansung aja ya. Sebelumnya Mas Aris mau minta maaf sama kamu. 
    Dalam masa perkenalan dengan kamu, Mas juga dekat sama cewek lain. 
    Sekarang Mas sudah memilih dia. Maafin Mas Aris ya,
    semoga kita tetap bisa berteman dan bertukar kabar.
Benar. Penjelasan yang sudah kuduga akan dia sampaikan padaku. Detak jantungku semakin kencang dan tidak jelas arahnya. Meskipun sudah mengetahui sebelumnya, aku tetap saja shock karena penjelasan itu lansung darinya. Mataku mulai terasa berat, cairan bening mulai membasahi pipiku. Ada rasa tidak ikhlas dan tidak terima yaang cukup besar. Aku ingin marah. Namun posisiku sangat lemah karena memang aku bukan siapa-siapa dia. Aku merasa dipermainkan. Sekarang dia jujur dengan apa yang telah dilakukannya padaku. Aku malu. Aku merasa bodoh karena terlalu dini menganggap dia menginginkan aku. Malam ini aku tau bahwa ternyata ada cewek lain yang lebih menarik baginya. Dia mendekati cewek itu,  disaat yang bersamaan dia memberikan perhatian-perhatian ajaib padaku.
            L: Oooh....itu. Ya ga papa kok mas. Santai aja. Salam ya buat mbaknya
Aku berusaha tenang, dan memberikan jawaban terbaik yang aku bisa.
A: Mas ga enak sama kamu Li. Maafin Mas ya. Kalo kamu marah, wajar kok.
              Mas maklum.
L: Ah..santai aja mas. Aku ga kenapa-napa kok,,hahha
A: Siip...Mas senang bisa kenal kamu Li.
             Semoga kamu mendapatkan yang terbaik
Malam itu, harapan-harapanku tentang cinta sejati kembali hancur. Baru saja aku berusaha membuka hati pasca gagal move on dari kisahku sebelumnya. Dia yang menawarkan aku harapan baru, ternyata berhenti ditengah jalan. Dia datang seperti hujan, membuat aku menikmati dinginnya. Disaat aku mulai nyaman, dia menghilang. Teduh. Berhenti membasahi seketika. Aku kecewa.
Aku kembali menjalani hari-hariku sebagaimana seharusnya. Tanpa pesan darinya di pagi dan malam hari. Tanpa perhatian darinya. Masa-masa itu terasa sedikit sulit. Disaat-saat itulah aku rajin menuliskan perasaanku. Blog-ku mendapatkan asupan gizi tiap malam, makanan tentang perasaanku tiap harinya. Aku berusaha keras untuk move on. Menata kembali hatiku yang sedikit hancur karena merasa dipermainkan. Aku menyalahkan diriku yang terlalu cepat berharap. Dia tidak salah jika mendekati dua orang sekaligus dan memilih salah satu diantaranya. Berarti cewek itu lebih baik dariku.
Dua bulan sudah aku tidak berhubungan sama sekali dengannya. Intensitas bertemu yang cukup sering cukup menyulitkan masa pemulihanku. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari aku berpapasan dengannya. Dipintu, ditangga, di mushola, di banyak tempat. “Apa dunia ini terlalu kecil, hingga selalu dia yang aku temui?’, batinku kesal. Tatapannya. Tatapan itu masih tetap sama dengan beberapa bulan yang lalu. Aku membenci situasi itu. Tidak jarang aku salah tingkah karenanya. Sungkan untuk menyapa, untuk berlagak tidak tahu pun aku merasa sangat jahat. Posisi yang cukup dilematis. Aku merasa sudah diambang batas. Aku tidak tahan terus-terusan menahan sendiri perasaanku. Aku ingin meluapkan rasaku, setidaknya bisa membuat aku lega. Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Nunu perihal perasaanku, karena sebelumnya dia yang menjadi penghubung antara aku dan Mas Aris. Aku merasa Nunu wajar untuk tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. “Nu, aku mau ngasih tahu sesuatu. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Jangan diketawain”, aku memulai. “Apa Li? Tenang ga bakalan aku bocorin.Apasih?”, Nunu penasaran. “Ehm.....kayaknya aku suka sama Mas Aris deh. Cuma itu kok Nu, aku nggak berharap apa-apa. Kamu jangan kasih tau siapa-siapa, termasuk dia”, ucapku pasrah sekaligus antisipatif.
Cukup lega rasanya telah mengungkapkan perasaanku ke Nunu. Memang tidak akan merubah apa-apa. Setidaknya, bisa membuat aku lega. Malam itu untuk kesekian kalinya aku merasakan rindu padanya. Aku buka histori chat-nya beberapa bulan yang lalu. “Coba aja, dia masih seperti ini. Aku rindu”, lagi-lagi aku membatin. Kring....kring....Layar handphone-ku berkedip. Ada sebuah pesan masuk. Aku buka pesan itu dengan sedikit malas. Mataku terbelalak. Detak jantungku mendadak berpacu, beradu cepat. Tanganku gemetar saking kagetnya membaca nama pengirim pesan. Mas Aris. Dia menghubungiku lagi setelah lebih dari dua bulan kita tidak berkomunikasi sama sekali. Bahkan aku sudah kehilangan banyak sekali harapan dia akan datang menghubungiku kembali. Ternyata malam ini harapan itu muncul lagi. Aku senang tak terkira. Namun ada hasrat untuk marah, “Kenapa dia harus datang lagi, jika memang sudah memilih cewek itu? Apa memang sifat cowok seperti ini?”, aku berburuk sangka padanya.
Akhirnya aku tahu bahwa ternyata dia tidak jadian dengan cewek yang waktu itu. Hanya berteman. Ternyata si cewek lebih memilih setia dengan pasangannya. Aku juga tau bahwa alasan dia lebih memilih cewek itu adalah karena putus asa, dia mengira aku tidak menyukainya. Berita yang cukup membuatku lega. “Seandainya dia tau, aku mati-matian menyembunyikan rasaku”, aku tersenyum girang. Pasca pesan mengejutkan malam itu, kami kembali intens berhubungan. Bahkan jauh lebih intens. Mungkin karena aku sudah menyadari perasaanku padanya, aku tidak lagi jaim dan ragu-ragu menunjukkan perhatianku. Aku tidak sungkan dan takut jika dia mengajakku jalan. Bahkan aku menunggu-nunggu saat-saat berjalan berdua dengannya menikmati indahnya romantika kota Jogja. Sebagai pendatang, aku tidak banyak tahu tentang tempat-tempat bagus di Kota Pelajar ini. Kebetulan sekali, dia keturunan Jogja asli. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak tawaran jalan-jalan darinya. Dia mengajakku mendaki Gunung Langgeran. Disitulah kali pertama dia memberiku filosofi positif yang aku ingat hingga sekarang, “Kalau kamu ngerasa capek dan susah, itu artinya kamu lagi naik tingkat. Sebaliknya, kalau kamu ngerasa nyaman dan santai, artinya kamu lagi turun tingkat. Hati-hati, jangan terlena dengan hal yang membuatmu nyaman”. Kata-kata itu membuat aku semakin menyukainya. “Ya Allah, aku jatuh cinta”, hatiku berbisik. Kami menikmati semilir angin di Pantai Baru, cukup sejuk dan asri. Suasana sangat mendukung dan memahami suasana hatiku yang sangat nyaman kala dia antusias menanyai tentang aku, memandangku dengan tatapan yang selalu sama. Kami menikmati indahnya warna-warni lampu di Taman Pelangi, makan berdua di warung lesehan, mengikuti seminar bersama, bahkan sekedar makan siangpun aku selalu menikmati waktuku dengannya. Tidak ada lagi halangan. Cukup jelas bahwa aku dan dia saling menyukai satu sama lain. Kami memutuskan untuk menjalani komitmen bersama, mencoba saling mengenal lebih dekat. “Ya Tuhaan, aku nggak jomblo lagi”, aku girang. Aku sangat bahagia, begitupun dia. Aku tahu dia sangat senang saat aku menjawab “ya”, aku menerimanya menjadi seseorang yang dekat denganku.
Hari berganti, bulan pun terus berlalu. Kami menjalani komitmen dengan sangat baik. Tidak pernah terjadi pertengkaran ataupun percekcokan yang cukup serius diantara kami. Kami cukup dewasa untuk bisa saling memahami satu sama lain. Memahami kelebihan dan kekurangan, memberi ruang untuk aktivitas satu sama lain dan sebagainya. Saling memberi semangat, dukungan dan mengirimkan do’a. Dia sering mengatakan padaku, “Mas sayang sama kamu Li, kita jaga baik-baik ya, Mas nggak salah milih kamu”. Aku sangat bahagia. Aku merasa beruntung memiliki seseorang seperti dia. Pintar, cerdas, baik, jujur, alim, setia, dan sebagainya. Dia berbeda. Dia laki-laki terbaik yang pernah kutemukan. Semua yang aku cari dan aku butuhkan dari seorang pasangan, ada padanya. “Ya Tuhaan, terimakasih atas nikmat ini”, aku sangat bersyukur.
“Apa mas? Bisa coba diulangi lagi?”, ucapku parau. Mataku mulai berkaca-kaca. Ada gerakan tidak nyaman dipipiku. Tubuhku gemetar. Aku berusaha keras menahan tangis. Aku kaget. Aku tidak pernah menduga dia akan mengatakan hal ini padaku. “Iya, sebelum aku mengambil keputusan ini sudah kupikir matang-matang. Ini yang terbaik buat kita. Kenapa terus menjalani hal yang sudah kita tahu jelas-jelas salah. Memang lebih baik kita mengembalikan status menjadi teman biasa. Kamu bisa menganggap aku seperti teman-temanmu yang lain, begitu juga aku”, ucapnya yakin. Ternyata benar, aku tidak salah mendengar. Dia ingin hubungan diantara kami hanya sekedar teman biasa. Sakit. Takut kehilangan. Semuanya terasa begitu kompleks. Bagaimana bisa aku mengatakan tidak setuju dengan keputusan yang jelas-jelas mulia ini. Dia menjalankan aturan agama. Dia menghindarkan aku dan dia dari dosa. Kita tidak boleh pacaran. Meskipun tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma, sendiri-sendiri memang jauh lebih baik. Aku pribadi sebenarnya sependapat dengan apa yang dia yakini, aku membenarkan. Aku tidak punya kata-kata yang bisa kuucapkan. Hanya hatiku yang bisa membenarkan dan menerima keputusan yang memang terasa berat ini. Aku tidak menjawab apa-apa. Hanya meminta dia mengantarku pulang dan larut dalam tangis. Larut dalam dialog dengan diriku sendiri, antara membenarkan dan menyalahkan keputusan yang mengejutkan itu. Malam terasa begitu menyakitkan dan dramatis. Aku merasa salah telah lancang berpikir bahwa aku memilikinya. “Esok, dan selanjutnya mungkin aku akan kehilangan dia, tidak ada lagi percakapan diantara kami. Tidak akan ada lagi jalan-jalan diakhir pekan sekedar berceloteh di pinggir pantai ditemani semilir angin. Tidak akan ada lagi yang mengingatkan aku untuk rajin makan. Pesan di pagi dan malam hari semuanya akan hilang”, pikirku. Satu per satu aktivitas yang sering kami lakukan bersaman bermunculan secara bergantian. Hatiku semakin pilu. Sakit. Aku seperti kehilangan separuh kekuatanku. Aku menangis semakin kencang. Tidak kusangka akan berakhir cepat dan seperih ini. Aku baru saja merasakan senang yang luar biasa bersamanya. Bahkan sudah membayangkan aku dan dia akan terus bersama. Berdampingan berdua menjaga komitmen kami. Nyatanya, hubunganku dan dia sudah berakhir. Aku dan dia akan menjalani hidup sendiri-sendiri tanpa komunikasi antara kami dihari-hari berikutnya. Lagi-lagi tangisku semakin menjadi.
Layar handphone-ku berkedip. Ada sebuah pesan masuk.
Mas Aris
Li, Mas Aris tetap sayang kamu lho. Jangan sedih, jangan takut. Ga selamanya apa yang baik menurut kita akan baik menurut Tuhan, begitu pula sebaliknya. Kita percayakan saja yang terbaik kepada-Nya. Kalau memang kita akan berjodoh, pasti kita akan dipertemukan lagi. Mas Aris ga munafik kalau Mas sangat sayang sama kamu. Mas senang bisa memilikimu. Namun kenyataannya, kita terlalu cepat bertemu. Lebih baik kita fokus pada pemantasan diri masing-masing. Sekarang, begini lah satu-satunya cara yang bisa Mas lakukan untuk menyayangimu. Memang terdengar aneh dan berbeda dari orang yang kebanyakan. Semoga kamu bisa mengerti. Jaga dirimu baik-baik, belajar yang rajin, pantaskan diri dihadapan Tuhan, selalu tersenyum, cari teman yang banyak. Semoga kita diberikan yang terbaik.
Tangisku semakin deras, sesak, sedu dan sedan. Sakit. Dadaku terasa semakin sesak karena menangis cukup lama. Hatiku perih membaca pesannya. Aku semakin sadar bahwa ternyata aku sudah sangat menyayanginya. Terlanjur dalam perasaanku untuknya. Pesannya membuat aku merasakan cinta yang semakin besar padanya. “Subhanallah, aku merasakan perasaan seperti ini Ya Tuhaaan. Jaga dia dimanapun berada. Aku menyayanginya. Jaga hati masing-masing kami jika memang kami baik untuk dipersatukan. Sampaikan padanya, aku merindukannya”, aku berdoa pada Sang Pencipta.
Kring.....kring.....layar handphone-ku menyala. Aku tersadar dari lamunanku. Aku tidak sedang berada pada situasi yang begitu dramatis beberapa bulan yang lalu. Hanya ada laptop didepanku. Alunan instrumen lembut menemaniku. Ah...aku terlalu rindu padanya. Semua ingatan tentangnya masih sangat jelas dan detail. “Apa kabar dia sekarang?Semoga dia disana masih mengingatku”, harapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar